Sosiolog UI Ungkap Faktor Utama Pelanggan Enggan Dibonceng Ojek Online Perempuan

Tak tampak kelelahan di wajah Tanti (44) setelah seharian bergelut dengan debu jalanan. Hari itu sepi penumpang. Keluar rumah sejak pukul 08.00 WIB, Tanti hanya mengantar empat penumpang. Selebihnya, dihabiskan untuk istirahat di rumah kontrakannya atau bersama rekan-rekannya sesama pengemudi ojek online.

Mereka bisa berkumpul di samping ruko dan rumah makan yang terletak di Perumahan Green Ville, Jakarta Barat. Di situ dijadikan base camp mereka. Lokasinya tak jauh dari rumah Tanti di daerah Duri Kepa, Jakarta Barat. Di base camp itu, Tanti bukan pengemudi ojek perempuan satu-satunya. Ada Dosowati yang akrab disapa Wati (25).

Sudah lebih dari setahun terakhir, kehidupan Tanti berubah. Tiga tahun menjadi pegawai bagian penjualan dan sales, kini dia memilih mondar mandir mengantar penumpang. “Saya lihat kok ada ya perempuan jadi begitu (pengemudi ojek online). Ah saya pikir kenapa tidak,” ujar Tanti saat berbincang dengan merdeka.com beberapa waktu lalu.

Sebagai perempuan mandiri, dia tidak ingin menggantungkan pendapatan hanya dari suami. Di sisi lain, Tanti juga menolak terbebani pekerjaan yang tak berbanding lurus dengan penghasilan yang diperoleh. Bahkan cenderung hanya menguras tenaga. “Di sini bisa kita sendiri yang atur mau pendapatan lebih ya untuk kita sendiri,” kata dia.

Menjadi pengemudi ojek online tidak selalu mulus. Suami Tanti, yang bekerja sebagai petugas jaga lahan milik perusahaan, sempat tidak setuju dengan keputusan Tanti. Di mata sang suami, perempuan tidak pantas menjadi ojek online. Dia mencoba memberikan penjelasan yang meluluhkan hati suaminya. Termasuk ketika harus bersaing dengan pengemudi ojek lainnya yang umumnya lawan jenisnya. “Saya kasih pengertian,” ujar Tanti.

Baca Juga :  Ngeri, Ada Belatung di Dalam Ayam yang Dipesan Pria Ini Lewat GrabFood

Setali tiga uang dengan Tanti, Wati (25) juga ingin keluar dari pekerjaan sebagai buruh pabrik yang hanya memeras tenaganya. Ketangguhannya bersaing dengan pengemudi ojek online yang rata-rata lelaki, membuahkan rezeki. Sehari mengantongi Rp 100.000 atau Rp 2 juta sebulan, sudah cukup bagi Wati. Terpenting, hidup Wati tak diatur pemilik modal. “Terserah saya juga, saya mau keluar narik jam berapa mau pulang jam berapa,” ujar Wati.

Di mata rekan-rekannya, tidak ada perlakuan istimewa bagi pengemudi ojek perempuan. Tapi, diskriminasi justru muncul dari penumpang. Bentuknya sederhana, tapi sangat terasa. Yakni berupa pembatalan pesanan dari calon penumpang saat mengetahui pengemudi ojek seorang perempuan. Umumnya, calon penumpang yang melakukan pembatalan adalah laki-laki. Dan ini bukan sekali dialami Tanti dan Wati.

Baca: 

“Padahal saya sudah sampai (di lokasi penjemputan) tapi orangnya pergi gitu saja begitu tahu saya perempuan. Dia malah naik angkot. Kesel banget. Tapi ya, sudahlah,” keluh Wati.

Keluhan itu terbukti. Saat berbincang dengan media, Andika (24), karyawan swasta membatalkan pesanannya saat mengetahui pengemudi ojek online yang dipesannya adalah perempuan.

Andika mengaku pasti membatalkan pesanan jika mendapati pengemudi perempuan. Alasannya tidak nyaman dibonceng perempuan. Terlebih jika postur badan Andika lebih besar dari pengemudi.

“Pasti (membatalkan pesanan) kalau dapat pengemudi perempuan. Saya cowok, tidak mau diboncengi perempuan,” jelas Andika.

Bukan hanya Andika, Alinia Qurbani (27) juga kerap melakukan hal sama. Membatalkan pesanan ojek saat mengetahui pengemudinya perempuan. “Perempuan kurang layak untuk menjadi tukang ojek,” kata Alinia.

Baca Juga :  Heroik, Aksi Penumpang dan Pengemudi Ojol Bantu Sopir Korban Tabrak Lari

Ada pula penumpang yang dengan alasan kurang nyaman dibonceng perempuan, dia yang mengendarai sepeda motor. Seperti yang dilakukan Fresti (26). Saat mendapati pengemudi ojek seorang perempuan, Fresti tidak pernah membatalkan pesanan. Namun selalu meminta dia yang mengendarai sepeda motor.

“Saya tidak pernah membatalkan pesanan kecuali memang dia yang minta dicancel. Tapi saya akui kalau mendapat pengemudi perempuan saya yang nyetir. Saya laki-laki enggak nyaman kalau diboncengi perempuan,” ucap Fresti.

Kondisi ini membuat Tanti, Wati dan perempuan pengemudi ojek online lainnya merasa disudutkan dan diperlakukan tidak sama. Atas nama pelayanan pada pelanggan, mereka akhirnya memilih berkompromi. Mereka mempersilakan penumpang mengambil alih kemudi. Tidak ada kekhawatiran bakal terjadi hal yang membahayakan.

“Kalaupun misalnya (penumpang) macam macam, kita bisa aja langsung teriak. Kalau dibawa ke tempat sepi kita bisa langsung kontak teman-teman ojek online, karena kita punya grup whatsapp jadi kalau ada masalah bisa ditolong segera,” sahut Tanti.

Hal lain yang sedikit menghibur pengemudi perempuan seperti Tanti dan Wati adalah jasa selain mengangkut penumpang. Seperti mengantar barang pesanan atau membeli makanan. Untuk urusan antar jemput barang, membeli makanan, dan belanja, pengguna jasa ojek online bersikap sedikit lebih modern. Mereka tidak mengidap bias gender sehingga tak punya masalah apabila pengemudinya perempuan.

Perusahaan-perusahaan ojek online tidak memiliki catatan khusus tentang alasan pembatalan pesanan jika dikaitkan dengan gender. Direktur Marketing Grab, Mediko Azwar menuturkan, sistem pembatalan tidak menspesifikasikan alasan pembatalan pesanan.

“Kami tidak membedakan data pembatalan pemesanan berdasarkan gender sehingga kami tidak dapat memberikan informasi lebih lanjut,” ujar Mediko.

Baca Juga :  Hadang Baim Wong, Video Klarifikasi Oknum Driver Grab Dibanjiri Komentar Pedas Netizen

Kepala bagian Humas Uber, Dian Safitri mengatakan hal serupa. Hanya saja, mereka menaruh perhatian khusus soal ini, jika menyangkut pelecehan atau pidana.

“Perilaku yang melibatkan diskriminasi karena gender atau SARA, kekerasan, kontak fisik dan aktivitas seksual atau gangguan yang melanggar hukum saat sedang menggunakan Uber dapat membuat akun penumpang dan mitra pengemudi segera dinon-aktifkan,” katanya.

Baca:

Cara pandang tradisional

Sosiolog Universitas Indonesia, Ricardi S Adnan melihat ada berbagai faktor yang membuat sebagian pria membatalkan pesanan ojek karena enggan dibonceng perempuan atau mengambil alih kemudi. Faktor utamanya adalah faktor moral tradisional. Pandangan semacam ini sulit diubah.

“Bisa secara psikologis, ada pride tapi ada pertimbangan moral agama,” ujar Ricardi.

Belum lagi stigma yang terlanjur melekat bahwa perempuan dianggap tidak cakap dalam berkendara, sering mengemudi di tengah jalan hingga menimbulkan risiko keamanan dan mengganggu kendaraan lain, atau dipandang cepat gugup.

Ricardi mengusulkan perusahaan ojek online menambahkan fitur pilihan pengemudi pada aplikasi ojek online. Sehingga tidak menimbulkan kekecewaan pada pengemudi perempuan karena pembatalan.

“Semisal, mau menggunakan pengemudi perempuan atau laki-laki, atau bisa kedua-duanya” katanya.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada Sunyoto Usman menyebutkan, pembatalan pesanan aau permintaan ambil alih kemudi penumpang lelaki, selain karena pandangan tradisional juga karena sifat dasar kendaraan yang tidak mendukung jika dikemudikan perempuan. “Sepeda motor tidak didesain untuk transportasi (umum),” ujar Sunyoto.

(merdeka/tow)

Loading...