Ini Alasan Pelanggan Menolak Pengemudi Ojek Online Perempuan

Kekacauan jalanan Jakarta sebetulnya bisa menghasilkan kesetaraan, baik untuk laki-perempuan, tua-muda, kaya-miskin. Tak percaya? Lihat saja, orang kaya yang duduk di kursi penumpang Toyota Alphard, pekerja kantor yang nyelip di sela-sela mobil agar cepat sampai rumahnya di pinggiran ibu kota, serta penumpang yang gelisah di kursi-kursi Kopaja, semuanya sama. Terjebak dalam kemacetan yang mengeringkan jiwa selama berjam-jam pada momen berangkat maupun pulang kerja.

Baca:

Sayangnya, kesetaraan dalam penderitaan macet hanya sampai di sana. Ada jenis beban lain khususnya dialami pengendara sepeda motor berkelamin perempuan, mitra perusahaan transportasi online yang sempat digadang-gadang dapat menjadi solusi bagi kemacetan kronis Jakarta.

Tengok Ratna Susanto. Perempuan 41 tahun yang menjadi orang tua tunggal bagi enam anaknya ini harus keliling Jakarta dengan sepeda motor otomatisnya merek Vario, saban pukul 15.00 hingga 23.00 tiap hari. Pekerjaan sebagai pengemudi ojek online dia lakoni untuk menambah penghasilan selain mengelola warung makan kecil di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Seharusnya pekerjaan tambahan ini memang bisa membuat dapurnya mengebul lebih lama. Nyatanya, dia sering mengalami penolakan dari pelanggan.

“Oh Arzia, itu perempuan ya?” tanya Ratna seketika setelah mendatangiku di pinggir jalan. Bagiku pertanyaan Ratna malam itu sedikit aneh. Kenapa jenis kelaminku penting? Perjalanan sepanjang Wolter Monginsidi-Mampang yang dilanda kemacetan parah jadi seakan kurang lama. Kami bicara banyak hal, termasuk kekhawatirannya di awal pesanan masuk, setelah menduga aku laki-laki.

Baca Juga :  Ancaman Keselamatan Driver Taksi Online Tinggi, ADO Sumsel Minta Solusi

“Saya takutnya kalau laki-laki orderannya akan di-cancel,” ujar Ratna. “Soalnya kalau dalam sehari dapat cowok semua, itu biasanya di-cancel terutama sama yang bapak-bapak ya.”

Enam bulan lalu Ratna bergabung bersama Grab. Menyusul empat bulan berikutnya bersama GO-JEK. Selama delapan jam menjadi pengemudi ojek online, Ratna paling banter hanya mampu mengantar enam penumpang. Meleset jauh dari jumlah minimum pesanan yang wajib diselesaikan bila Ratna ingin mendapat bonus dari masing-masing perusahaan.

“Saya narik GO-JEK, narik grab bike, itu juga sama saja [hasilnya],” kata Ratna. “Pernah sampai 10 kali cancel dalam sehari, setiap hari oleh pelanggan yang laki-laki, mereka kadang tidak cancel langsung. Pas saya sudah di lokasi dan lihat saya secara langsung, baru mereka cancel.”

media mewawancarai tujuh pengemudi ojek online berkelamin perempuan dari berbagai kota. Mereka semua mewakili pengemudi perempuan untuk GO-JEK, Grab Bike, maupun Uber, tiga perusahaan aplikasi online yang mendominasi pasar Indonesia. Semuanya memberi pengakuan serupa. Penolakan dari konsumen lelaki rutin terjadi, atau setidaknya beberapa kali mereka alami.

Alasannya? Prasangka seksis dari lelaki bahwa pengemudi perempuan tidak cukup terampil mengantar mereka sampai tujuan. Ada juga penumpang yang mengaku kasihan, alasan yang berakar dari seksisme pula, pada pengemudi ojek perempuan sehingga memilih membatalkan pesanan. Alasan lain sepenuhnya seksis: mereka “tidak nyaman” jika dibonceng pengemudi perempuan. Dalam survei sederhana lewat Instagram story, aku mendapat jawaban dari 70 responden laki-laki. Sembilan orang mengaku akan menawarkan diri mengendarai motornya sekalian, jika mereka mendapat pengemudi ojek online perempuan.

Baca Juga :  Libatkan 150 Kendaraan Dinas, Polda Metro Bagikan 25 Ton Beras ke Sopir Ojol hingga Pasukan Oranye

Jody Soepratikno, 24 tahun, adalah digital staff di sebuah radio di Jakarta, salah satu yang mengaku tidak nyaman dengan pengemudi ojek perempuan. Ia mengaku pernah membatalkan pesanan sebanyak lima kali karena pengemudi ojek online yang dia dapat selalu perempuan. Rasa tidak tega mendominasi, apalagi jika malam hari tiba. “Gue enggak tega kalau driver-nya cewek, karena badan gue cukup berat. Jadi gue khawatir driver-nya bakal kesulitan pas nyetir, apalagi jarak yang tempuh gue biasanya jauh banget.”

Apapun alasan konsumen, keputusan macam itu berpengaruh terhadap penghasilan pengemudi perempuan. “Ngaruh [ke pendapatan], nanti sistem perusahaan mikirnya kita melakukan kelalaian saking seringnya di-cancel,” ujar Ratna kepada VICE Indonesia. “Kalau sering di-cancel, makin sulit kita dapat bonus, dan ada pemotongan persentase kinerjanya itu. Sistem [aplikasi] yang berlaku kan kadangkala enggak mau tahu pembatalan itu dari pihak siapa.”

Nasib Ratna tidak jauh beda dengan Asima Manalu, 35 tahun. Selama lebih dari 10 bulan Asima setia menjadi mitra GO-JEK. Ia kerap mendapatkan penolakan dari para penumpang laki-laki, hanya karena kelaminnya. Asima adalah seorang janda beranak dua, sekaligus kepala rumah tangga yang menggantungkan hidupnya sehari-hari hanya dari penghasilan ojek online. Asima mengaku, dalam sehari setidaknya selalu ada satu pelanggan laki-laki yang membatalkan pesanannya.

“Kalau order saya dibatalkan, saya cuma bilang ‘terima kasih ya Pak sudah cancel saya,” ujar Asima yang sudah terlanjur kebal sekaligus kesal akibat beban berlapis yang mau tak mau diterima pengemudi perempuan.

Baca Juga :  Kapolres Jember Himbau Transportasi Online dan Konvensional Menjaga Kondusivitas

Vivi Ristyana sedikit lebih beruntung daripada Ratna dan Asima. Vivi pernah mengalaminya sebanyak dua kali sejak Ia mulai ngojek untuk Uber enam bulan lalu. Vivi termasuk yang berani berseru soal ketidakadilan berbasis relasi gender yang diterimanya kepada para pelanggan laki-laki. Vivi tidak bisa terima begitu saja soal alasan pelanggan lelaki yang kasihan karena Ia perempuan atau bahkan risih. Pada akhirnya, sebagai pengemudi, Vivi lagi-lagi tidak punya kuasa.

“Kadang saya balikin lagi kalau penumpangnya masih bisa diajak komunikasi, ‘kenapa mesti kasihan? Kan sudah pilihannya dia untuk ngojek? Kok harus kasihan?'”

Tidak satupun penumpang laki-laki yang membatalkan pesanan dengan alasan “kasihan”, sanggup menjawab pertanyaan Vivi.

Aplikasi transportasi online seperti GO-JEK dan Grab selama ini dielu-elukan oleh media massa karena berhasil memposisikan diri sebagai ‘solusi kemacetan’ serta menjalankan tugas menjadi penyedia lapangan kerja sektor informal untuk jutaan kelas pekerja Indonesia. Sebelum aplikasi macam ini muncul, pengemudi ojek tidak memiliki perlindungan apapun. Kini, jutaan mitra pengemudi memperoleh akses terhadap rekening bank, asuransi kesehatan, dan stabilitas pendapatan yang lebih baik tiap bulannya. Itu belum termasuk dampak disruptif bisnis transportasi online terhadap moda angkutan tradisional lainnya.

Dari penelusuran VICE Indonesia, efek positif tersebut tidak serta merta dinikmati oleh pengemudi lelaki maupun perempuan. Efek disruptif yang menyejahterakan belum bisa mengatasi prasangka seksis yang rupanya mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia. Masalah ini terjadi di semua sektor industri, namun akan terasa lebih memberatkan perempuan ketika bidang kerjanya menetapkan sistem penghasilan harian seperti ojek online.

(vice/tow)

Loading...