Tak Mampu Bertahan, Pengusaha Taksi Konvensional di Yogya Gulung Tikar

Kehadiran taksi online di Kota Yogyakarta sejak 2016 lalu mulai berdampak buruk bagi kelangsungan taksi konvensional. Bahkan, banyak pengusaha taksi konvensional yang gulung tikar akibat tidak mampu bertahan menghadapi taksi online.

Selain kesulitan mendapatkan penumpang, pemilik usaha taksi online juga kehilangan sopir yang memilih hengkang dan mencari pekerjaan lain.

Ketua Paguyuban Taksi Pataga, Sujarwo Candra mengatakan, sesuai dengan SK Gubernur, jumlah taksi yang ada di DIY ada 1.000 unit. Namun saat ini yang beraktivitas hanya sekitar 600-700 unit. 

Mereka harus bersaing ketat dengan taksi online yang sejak tiga tahun belakangan menggerus pendapatan mereka. “Dulu saat krisis ekonomi hanya seperti badai. Kalau saat ini ancaman sudah seperti tsunami langsung hilang,” ujarnya, Senin (21/1/2019).

Baca Juga :  Cerita Ellon, Mitra Go-Jek yang Mendapatkan Penghargaan

Menurut dia, banyak operator taksi yang merugi karena tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal, bahkan ada yang menjual asetnya dengan semakin banyaknya sopir yang keluar. “Sekarang ini sulit untuk mencari penumpang juga sulit mencari pengemudi,” ucapnya.

Sekretaris Pataga, Hadi Hendro mengaku tidak memiliki data resmi berapa jumlah taksi konvensional yang masih beroperasi di Yogyakarta. Namun dari grup pengemudi ada sekitar 666 yang terdaftar dan aktif melakukan kegiatan yang tersentral di salah satu mal di Yogyakarta. Padahal dari kuota yang ditetapkan Gubernur DIY jumlah taksi di DIY mencapai 1.000 armada.

Di Pataga, lanjut dia, dari 59 unit, ada 25 yang menjalani masa rekondisi. Sehingga hanya tersisa sekitar 14 unit yang melayani penumpang. Kondisi seperti ini juga terjadi di sejumlah perusahaan taksi lain. Tidak sedikit taksi ini berubah mejadi pelat hitam, karena dijual untuk menutup kebutuhan hidup. “Kita tidak ada data riilnya, tetapi hanya 600 sampai 700 saja yang beroperasi,” ucapnya.

Dia menuturkan, tarif taksi konvensional sudah ditetapkan untuk buka pintu Rp6.500 dan Rp3.900 per kilometer. Kondisi ini sulit untuk menjadikan taksi bisa bertahan dari gempuran teknologi yang berdampak pada hadirnya taksi online. “Tidak hanya sulit cari penumpang, cari pengemudi juga sulit,” katanya.

Menurut dia, Pataga berencana menjalin kerja sama dengan Blue Bird melalui program CSR. Kepemilikan dan izin tetap menjadi milik Pataga. “Ini masih kita komunikasikan, agar ada perbaikan layanan dan taksi konvensional bisa bertahan,” katanya.

Hadi mengakui banyak yang harus diubah jika taksi konvensional ingin tetap bertahan. Salah satunya dengan memberikan pelayanan prima mulai dari personal pengemudi, kondisi kendaraan hingga layanan kepada penumpang. “Perlu ada perubahan agar taksi tidak punah,” tandasnya.

Sopir taksi konvensional, Daryanto mengaku saat ini sulit mendapatkan penumpang. “Kami mengandalkan penumpang dari hotel dan perusahaan yang menjalin kerja sama,” tandasnya.

Baca Juga :  Bos Go-Jek: Kami Bangga Hadirkan Layanan Go-Jek di Singapura

(news.id/tow)


Loading...