Dilema Transportasi Berbasis Aplikasi Online

Pilih Mana?

Harus diakui bahwa kehadiran transportasi berbasis aplikasi online di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, memberikan banyak manfaat bagi para pengguna jasa transportasi. Transportasi berbasis online  ini seakan menjadi jalan tengah kondisi mobilitas masyarakat perkotaan yang intensitasnya tinggi diantara kemacetan jalan raya yang persoalannya tidak mudah  terurai. Kita tidak menafikkan bahwa transportasi online menjadi pilihan karena keunggulannya yang tepat waktu dan ongkos yang terjangkau. Sayangnya polemik terus muncul, khususnya perseteruan antara transportasi umum berbasis online dengan transportasi umum konvensional.

Setahun yang lalu pada bulan Maret 2016 terjadi demonstrasi sopir armada taksi besar-besaran di depan Istana Merdeka, Jakarta, yang kemudian diikuti juga dengan demo di lokasi-lokasi lain di Indonesia. Demo tahun lalu itu dibumbui provokasi yang berakibat pada tindakan anarkis oleh pengemudi taksi terhadap pengemudi transportasi online. Hasilnya? Bukan menyurutkan polemik namun justru aksi balas dendam yang tak kunjung usai hingga hari ini.

Baru-baru ini terjadi, hari Rabu tanggal 08 Maret 2017 kemarin seorang pengemudi ojek online di Tangerang sengaja ditabrak oleh supir angkot di Tangerang, Banten. Sehari setelahnya, 09 Maret 2017,  ada keroyokan sekelompok orang yang mengendarai motor dan disinyalir adalah sopir angkot juga mengejar dengan membabi buta sebuah mobil yang diduga adalah Grabcar di daerah Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang. Pada saat yang sama, di Bandung juga terjadi demo sopir angkot di depan gedung sate yang menuntut supaya transportasi berbasis aplikasi online tidak lagi beroperasi.

Saya pribadi pernah mengalami hal yang kurang menyenangkan dengan salah satu oknum ojek pangkalan yang hampir menyerang pengemudi ojek online  yang saya tumpangi. Alasannya adalah pengemudi ojek online itu sudah mengambil lahan mata pencahariannya, padahal saat itu saya hanya minta tolong untuk turun sebentar di mini market yang kebetulan jaraknya sekitar 20 meter dari pangkalan ojek. Itu hanya sedikit saja fakta yang menunjukkan bahwa soal tranportasi online dan konvensional ini bukan perseteruan yang sepele yang langsung bisa diselesaikan secara kekeluargaan.

Perkembangan Transportasi Online di Indonesia

Seorang Nadiem Makarim mendirikan perusahaan yang melayani angkutan melalui jasa ojek online  Go-Jek dan mulai beroperasi sejak 13 Oktober 2010. Dimulai dari sebuah call center dan 20 pengemudi ojek. Sampai 2014 perusahaan ini masih lesu, tidak disangka permintaan akan jasa ojek online ini melesat jauh pada tahun 2015 ketika aplikasi Go-Jek bisa diunduh di melalui perangkat android dan iOS (Januari 2015). Setelah Go-Jek, Grabbike juga melakukan terobosannya dengan membuat aplikasi yang serupa dan bisa diunduh bebas mulai April 2015. Keduanya langsung menjadi populer di masyarakat terutama pengguna smart phone.

Naiknya pamor ojek online ini diminati oleh investor yang melihat peluang perkembangannya setelah Uber dan GrabTaxi masuk pasar Indonesia. Marketing perusahaan dengan cara memberikan tarif promo murah meriah menjadikan transportasi online langsung disambut oleh pengguna jasa transportasi.

Di tengah persaingan yang ketat antar perusahaan transportasi online ini, inovasi demi inovasi terus dilakukan oleh perusahaan. Go-Jek kemudian tidak hanya berfokus pada layanan ojek semata namun melebarkan ranahnya dengan layanan antar barang (Go-Send), bersih-bersih rumah (Go-Clean), panggilan pijat (Go-Massage), beli tiket nonton (Go-Tix), layanan perbaikan dan cuci kendaraan (Go-Auto), layanan isi pulsa (Go-Pulsa), layanan pesan makanan (Go-Food), layanan salon kecantikan (Go-Glam) dan layanan pengiriman obat (Go-Med). Seabrek layanan tersebut dipermudah dengan fasilitas membayar dengan cara top up melalui aplikasi atau disebut Go-Pay.

Berbeda dari Go-Jek yang melebarkan sayap di luar bisnis transportasi, Grab berfokus pada bisnis transportasi dengan inovasi layanan GrabHitch. Pengguna Grab yang membawa sepeda motor bisa berbagi tumpangan kepada pengguna lain. Grab juga menghadirkan fitur chat di dalam aplikasi mereka. Pengemudi dan pengguna Grab juga mendapatkan program loyalitas bernama Top Partners (untuk pengemudi) dan Grab Rewards (untuk pengguna). Bersaing dengan Go-Jek dan Grab, Uber hadir dengan meluncurkan layanan berbagi tumpangan UberPool dan mobil harian UberTrip. Untuk memperluas jangkauan, ketiga perusahaan ini menyasar kota-kota besar di Indonesia tidak hanya di Jawa dan Jakarta tapi hingga Samarinda dan Manado.

Culture Lag Dalam Bisnis Inovasi

Dalam ilmu sosiologi terdapat istilah culture lag dimana kebudayaan materi lebih cepat berkembang dibanding kebudayaan non-materi. Kita tidak pernah menyangka bahwa Nokia  dalam jangka waktu yang sangat cepat kehadirannya digantikan oleh merk-merk seperti Sony dan Samsung. Setelah itu menyusul smartphone dengan harga murah yang bisa dijangkau oleh kalangan menengah ke bawah.

Perkembangan teknologi yang begitu pesat ini belum diimbangi dengan perkembangan kualitas manusia yang sepadan. Akhirnya, konflik yang secara tidak langsung sebagai akibat perkembangan teknologi dirasakan di dalam masyarakat. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa salah satu akar masalah bentrokan yang terus menerus antara transportasi berbasis aplikasi online dengan transportasi konvensional adalah perkembangan teknologi.

Di satu sisi transportasi online sendiri merupakan bisnis inovasi yang memanfaatkan kecanggihan perkembangan telepon pintar di era digital. Para founder transportasi online ini tidak perlu punya ribuan armada transportasi tetapi berfokus pada jualan aplikasi. Kalangan yang bisa tersentuh adalah mereka yang melek teknologi baik dari sisi pengemudi maupun sisi pelanggan. Melek teknologi ini dibutuhkan sebuah kemauan yang kuat. Kemauan itu terkait dengan unsur non-materi sebagai bentuk etos kehidupan seseorang.

Namanya saja bisnis inovasi artinya baik pelaku bisnis maupun penikmatnya harus terus mengikuti inovasi-inovasi yang ada. Namun culture lag itu tidak bisa diubah begitu saja seperti membalikkan telapak tangan. Itulah kenapa program revolusi mental di era Presiden Jokowi ini cukup sulit dilaksanakan, sesuatu yang berbentuk kebendaan lebih cepat berubah daripada kesiapan mental seseorang.

Dilema Yang Belum Menemui Jalan Tengah

Dasar hukum yang masih mengambang mengenai transportasi berbasis aplikasi online ini menyebabkan persoalan pertikaian dengan transportasi konvensional tak kunjung usai. Ketika UU No.22 Tahun 2009 tentang angkutan jalan disahkan, pemerintah belum memperediksi bahwa perkembangan trasportasi online ke depannya akan sangat pesat. Ketika Menteri Perhubungan masih dijabat Ignasius Jonan, kisruh transportasi online ini mencuat dan semakin tegang karena saat itu Jonan memberikan pernyataan bahwa transporasi ojek online dilarang beroperasi. Namun pernyataan tersebut diurungkan pelaksanaannya karena tidak mendapat lampu hijau dari Presiden Jokowi.

Pada tahun 2016, Kementerian Perhubungan resmi mengeluarkan aturan untuk layanan transportasi berbasis aplikasi melalui Peraturan Menteri Perhubungan No.32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Dalam Peraturan Menteri tersebut terdapat ketentuan bahwa perusahaan aplikasi online untuk trasnportasi wajib berbadan hukum dan diwajibkan mengikuti ketentuan pengusahaan angkutan umum.

Lahirnya Peraturan Menteri No. 32 Tahun 2016 tersebut sesungguhnya mejadi titik terang bagi perkembangan transportasi berbasis aplikasi online. Baik pengelola maupun pengemudi seperti sudah mengantongi izin di jalan raya. Sayangnya, di tingkat akar rumput, terutama pengusaha angkutan jalan konvensional yang merasa tersaingi dengan kehadiran transportasi online tetap merasa bahwa kehadiran transportasi online ini mengambil lahan penghasilan mereka.

Nampaknya solusi atas kisruh transportasi online versus transportasi konvensional tidak cukup sebatas menerbitkan peraturan supaya perusahaan-perusahaan berbasis aplikasi untuk transportasi ini berbadan hukum. Diperlukan upaya yang lebih mendasar semacam membuat nota kesepahaman antara pengusaha transportasi konvensional dengan transportasi online. Terlebih perlu upaya yang kuat untuk masuk ke golongan akar rumput (sopir angkutan, tukang ojek pangkalan) untuk mengajak mereka paham bahwa hal ini bukan semata-mata tentang “ngambil lahan orang” sebagaimana yang mereka pahami. Namun lebih dari itu ada gelombang arus yang tidak bisa ditahan yaitu perkembangan teknologi. Selain itu masyarakat kita juga memerlukan sarana transportasi yang nyaman, aman, tepat waktu, dan terjangkau.

Asih Seword

(seword/tow)

Loading...