Gesekan antara layanan transportasi online dengan konvensional masih menjadi isu di Indonesia. Kemunculan Go-jek, Grab, dan Uber, dianggap membunuh industri yang lebih dulu muncul, seperti ojek pangkalan dan taksi tradisional.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, dalam berbagai kesempatan mengatakan, inovasi teknologi adalah hal mutlak yang sulit dibendung. Peran pemerintah hanya memberi koridor atau batasan dalam bentuk regulasi.
Baca:
- Singgung Kemajuan Teknologi, Jokowi: Beli Sate Cukup Pakai Go-Food, 30 Menit Sampai
- Daftar NPWP dan Lapor SPT Bisa Lewat Go-Jek, Ini Penjelasan Sri Mulyani
- Bukan Lifestyle, Sri Mulyani Tegaskan Belanja Online dan Gunakan Transportasi Online sebagai Kebutuhan
Lebih lanjut, Rudiantara tak ingin jika teknologi disalahkan atas fenomena terbunuhnya jasa transportasi tradisional. Menurut menteri yang kerap disapa RA itu, teknologi hanya sebuah penggerak alias enabler.
“Yang mengubah adalah inovasi pemikiran. Ada orang seperti Nadiem Makarim (CEO Go-Jek) yang berpikir ojek pangkalan pendapatannya berapa, dia lalu punya ide bahwa ojek harusnya tidak di pangkalan, tapi berkeliaran untuk menambah pendapatan,” ujar RA di sela seminar “Gerakan Menuju 100 Smart City” di Jakarta, Rabu (15/11/2017).
“Kebetulan sistem paling mudah untuk solusi itu lewat aplikasi di smartphone,” ia menambahkan.
Lebih syariat
Selain itu, Rudiantara mengatakan Go-Jek dan sejenisnya sejatinya lebih bersifat syariat, ketimbang transportasi konvensional.
“Kalau di Go-Jek itu akadnya jelas. Siapa sopirnya, mau dibawa ke mana, lewat jalan apa, harga yang harus dibayar. Itu diketahui langsung di aplikasi, jadi keamanannya terjamin,” kata Rudiantara.
Ia juga mengatakan, Go-Jek dan sejenisnya mengimplementasikan aturan main yang adil. Pengguna bisa memblokir sopir tertentu alias blacklist jika melakukan hal-hal yang tidak berkenan, begitu juga sebaliknya.
“Ada keseimbangan bargaining power antara sopir dan penumpang,” pungkasnya.
(kompas/tow)