MA: Transportasi Online, Konsekuensi Logis dari Perkembangan Teknologi Informasi

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Tidak Dalam Trayek, yang membuat tarif taksi aplikasi melonjak, ternyata hanya berumur pendek.

Setelah berlaku sejak 1 April 2017, di pertengahan Agustus 2017 peraturan itu mesti dicabut. Mahkamah Agung memenangkan pengemudi taksi aplikasi yang mengajukan uji materiel terhadap pasal-pasal di aturan tersebut.

Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 37 P/HUM/2017 menyatakan, pengemudi daring menang di tingkat MA.

MA memutuskan angkutan sewa khusus berbasis aplikasi daring sebagai konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi dalam moda transportasi, yang menawarkan pelayanan yang lebih baik, jaminan keamanan, dan perjalanan dengan harga yang relatif murah dan tepat waktu.

“Artinya dengan putusan MA ini, maka pasal atau aturan dalam Permenhub 26/2017 dinyatakan tidak bisa diberlakukan dan harus segera diubah,” kata Azas Tigor Nainggolan, Pengamat Transportasi dari Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA).

Baca:

Tigor meminta agar Kemenhub segera melakukan revisi atas 14 poin yang dibatalkan oleh MA, agar tidak ada kekosongan hukum dalam regulasi operasional taksi berbasis aplikasi.

Tigor mengatakan, sejak awal dia sudah mengingatkan bahwa isi Permenhub itu bertentangan dengan UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Ke-14 poin dalam PM 26 Tahun 2017 dianggap bertentangan dengan dua undang-undang yang lebih tinggi, yaitu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Oleh MA, ke-14 poin ini telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan memerintahkan kepada Menhub untuk mencabut pasal-pasal yang terkait dengan 14 poin dalam peraturan menteri tersebut.

Ke-14 poin yang dinyatakan batal, antara lain kewajiban KIR, kuota armada, penetapan tarif batas atas dan bawah, serta STNK atas nama badan hukum.

“Salah satunya juga adalah soal penetapan tarif batas atas dan bawah, sejak awal saya sudah mengatakan materi aturan melanggar ketentuan yang lebih tinggi, yakni UU 22/2017,” ujarnya.

Tigor mengatakan, tarif taksi sesuai UU 22/2009 mesti atas kesepakatan antara penyedia jasa dan pengguna jasa.

“Makanya penentuan tarif batas atas dan bawah itu melanggar UU. Jadi ya tak bisa berlaku. Harus kembali ke tarif taksi aplikasi sebelumnya,” cetus Tigor.

(wartakota/tow)

Loading...