Transportasi Online, Solusi Cerdas Tak Berpayung Hukum Jelas

Pilih Mana?

Dulu, Agnes (26) seringkali memulai hari dengan perasaan kesal. Itu karena dia harus berdebat dengan pengendara ojek.

Yang diributkan Agnes dan sopir ojek adalah besaran tarif. Agnes mengatakan, pengendara ojek kerap mereka mematok tarif yang semena-mena bahkan terlalu tinggi.

Padahal, sebagai pekerja media Agnes mengaku mobilitasnya cukup tinggi dan ongkos selalu perlu diperhitungkan.

Sekarang, karena sudah ada transportasi berbasis aplikasi, Agnes tak lagi kesal. Menurut dia, ojek online menjadi solusi kebutuhannya terhadap transportasi murah.

“Dulu saya pernah liputan ke beberapa tempat habis sampai Rp 200 ribu sehari. Sekarang, setelah ada ojek online paling cuma Rp 50 ribu habisnya, dengan rute yang sama,” kata Agnes saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (28/3/2017).

“Harga fix di ojek online sangat membantu mengurangi konflik,” sambungnya.

Sementara itu, pekerja BUMN asal Jakarta, Astari (25) merasa terbantu dengan keberadaan trasnportasi online karena tak semua daerah dilewati transportasi umum.

Dari tempat tinggalnya di daerah Mampang, ia perlu berjalan kaki sekitar 1,5 km untuk mencapai halte bus Transjakarta terdekat.

Sebetulnya banyak kendaraan umum yang bisa digunakan untuk menempuh jalur tersebut. Namun, tarif yang tak tentu menjadi permasalahan.

“Sekali jalan bisa Rp 18.500. Sedangkan ojek online dari kosan ke kantor Rp 10.000, bahkan ditambah diskon pembayaran elektronik bisa Rp 4.000. Lebih hemat 3 kali lipat,” tuturnya.

Adapun Nina (24) seorang karyawan swasta, mengaku efisiensi waktu menjadi salah satu alasan memilih transportasi online ketimbang transportasi konvensional.

Ia mencontohkan saat masih duduk di bangku sekolah, dirinya harus menempuh kemacetan hingga 2 jam dari sekolah ke rumah.

Belum lagi dirinya mesti naik-turun kendaraan. Dengan transportasi online, waktu tempuh dapat dipangkas cukup banyak.

“Pakai angkot bisa sampai 2 jam. Padahal kalau naik mobil pribadi atau sekarang ojek online, maksimal cuma 45 menit,” kata Nina.

Pekerjaan besar pemerintah

Penolakan terhadap kemunculan transportasi berbasis aplikasi atau transportasi online dalam beberapa waktu terakhir semakin bermunculan.

Tak jarang penolakan tersebut menggiring pada bentrok dua kubu yang berujung konflik fisik. Keresahan muncul pada pengendara dan pelaku usaha transportasi konvensional karena kemunculan transportasi online dinilai membuat pendapatan mereka turun drastis.

Sebagian bahkan hingga gulung tikar. Namun, pada dasarnya, konsumen tak menuntut banyak hal.

Sebagai pengguna jasa, mereka menginginkan segi kenyamanan, keamanan dan efisiensi.

Pengajar Sosiologi Universitas Padjajaran Bandung Yusar Muljadji menilai, pro-kontra kemunculan transportasi online masih akan sangat panjang.

Permasalahan ini merupakan pekerjaan rumah pemerintah yang perlu waktu lama untuk menyelesaikannya.

Sebab, permasalahan ini menyangkut “rebutan” nafkah untuk penghidupan sehari-hari. Selain itu, angkutan umum juga dianggap sudah membudaya di Indonesia.

“Ini akan sangat panjang. Tantangannya juga tinggi. Karena mengubah mata pencaharian tidak gampang. Selain itu, pembenahan dengan cepat saya kira resistensinya justru akan lebih tinggi,” kata Yusar saat dihubungi, Selasa (28/3/2017).

Di samping itu, kata dia, transportasi konvensional dan online sebetulnya bisa berjalan bersama-sama. Sebab, keduanya memiliki segmentasi konsumen yang berbeda.

“Konsumen-konsumen kendaraan berbasis obline bukan konsumen kendaraan umum biasa. Mereka relatif tidak mengambil para penumpang yang biasa naik angkutan umum,” tuturnya.

Pemerintah, kata Yusar, harus memiliki blue print atau cetak biru sebagai sebagai perencanaan penataan transportasi di Indonesia.

Blue print tersebut kemudian dijalankan oleh kementerian dan lembaga terkait untuk sama-sama menyelesaikan peroalan ini dari segala aspek.

“Saya kira perencanaan pembangunan, Bappenas, juga harus berperan. Karena ini nyaris tanpa perencanaan dan dibiarkan terjadi sporadis,” ucap Yusar.

Legalitas ojek online

Keresahan banyak diungkapkan oleh mereka para pelaku usaha dan pengendara transportasi konvensional.

Namun, di sisi lain pengendara transportasi online pun merasakan keresahan.

Sejumlah pengendara ojek online yang tergabung dalam Federasi Driver Online Nusantara (FDON) bahkan meminta mediasi dengan pimpinan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di DPR untuk menyampaikan keluhan tersebut.

Dari sejumlah keluhan yang disampaikan, permasalahan utamanya adalah menuntut adanya legalitas.

Revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek dinilai belum mengakomodasi semua pihak.

Permenhub tersebut hanya membahas soal kendaraan roda empat, namun tidak bagi kendaraan roda dua.

“(Revisi) Permenhub yang digembor-gemborkan tidak sesuai dengan aspirasi roda dua. Karena Permenhub hanya bahas roda empat,” kata Ketua FDON Feri Valentino di ruang rapat Fraksi PPP, Senin (27/3/2017).

“Kalau Permenhub dikaitkan dengan roda dua, itu jauh. Tidak ada korelasi dan hubungannya,” sambungnya.

Padahal, kemunculan ojek online dinilai banyak membawa perubahan positif dalam kehidupan masyarakat.

Selain untuk kenyamanan dan kemudahan konsumen, banyak pula tindak kejahatan yang dapat diminimalisasi.

Tak jarang, pelaku kejahatan justru “taubat” dan mencari rezeki halal dengan ngojek.

“Ada preman-preman kecil yang rajin narik karena ini ( ojek online). Ada pertumbuhan positif. Jadi tolong, perhatian Pemerintah kepada angkutan berbasis aplikasi lebih dijelaskan,” tutur Sekjen FDON Badai Asmara di kesempatan yang sama.

Adapun Anggota Komisi V DPR Nizar Zahro beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan perlu dilakukan.

Hal itu untuk mengatur keberadaan ojek online yang saat ini sudah menjamur di kota-kota besar.

transportasi online dinilai sudah menjawab kebutuhan masyarakat. Namun, UU LLAJ belum mengatur khusus mengenai itu.

“Maka dari itu perlu adanya revisi undang-undang LLAJ itu. Dengan adanya revisi UU LLAJ maka kendaraan roda dua atau ojek online memiliki payung hukum yang kuat,” ujar Nizar dalam keterangan tertulis, Sabtu (25/3/2017).

(kompascom/tow)

Loading...