Tren Perilaku Pengguna Aplikasi jadi Tantangan Bagi Ojol Baru Setelah Kesuksesan Gojek dan Grab

Driver ojek online "JuangJek" Bireuen sedang mengantar pelanggan di Kota Bireuen, Jumat (1/11/2019).\

Kemunculan berbagai ojek online baru di Indonesia menambah daftar pilihan kendaraan bagi masyarakat. Beberapa penantang baru Grab dan Go-Jek, yang sudah bertahun-tahun menguasai pasar Indonesia, di antaranya adalah Bonceng, Anterin, Beujek, Gaspol, Cyberjek, dan Bitcar.

Namun, mampukah ojek-ojek itu meruntuhkan dominasi Grab dan Go-Jek?

Jika ditilik dari tiap-tiap layanan/platform, bisa dibilang menyamai apalagi menyaingi Grab dan Gojek masih sulit dilakukan para pendatang baru tersebut. Hal itu karena ada beberapa hal yang belum dimiliki oleh para pendatang baru ini, salah satunya adalah kompleksitas layanan yang disediakan.

Seperti diketahui, Gojek dan Grab tidak hanya menyediakan layanan transportasi point to point, tapi juga layanan pesan antar makanan, layanan antar barang hingga transaksi melalui uang digital seperti Go Pay dan OVO. Kedua aplikasi ini kini telah menjelma menjadi on demand apps bahkan super apps.

Gojek dan Grab juga telah sukses menjadi pionir dalam membangun ekosistem digital di kawasan Asia Tenggara.

Selain itu, dua layanan ini menyediakan kemudahan dalam bertransaksi bagi pelanggannya karena memiliki berbagai layanan pembayaran seperti Gopay pada Go-Jek dan OVO pada Grab. Apalagi saat ini tren yang ada menuju ke cashless.

Selain model bisnis, tantangan yang dihadapi oleh para ojol baru ini adalah tren perilaku pengguna aplikasi.

Menurut studi yang dilakukan oleh lembaga riset Spire Research and Consulting terhadap 280 responden, brand Gojek dan Grab merupakan merek yang sangat populer. Keduanya telah menjelma menjadi aplikasi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari penggunanya.

Responden yang menggunakan ojek ride hailing 1-2 kali dalam sehari mencapai 58% (Grab Bike) dan 64% (GoJek). Sedangkan penggunaan ride hailing mobil 1-2 kali dalam seminggu 25% (Go-Car).

Tren juga menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi penggunaan aplikasi adalah harga dan promo. Dengan adanya perang harga yang terjadi antara kedua perusahaan rintisan tersebut secara tidak langsung membuat pengguna memiliki karakteristik yang price sensitive.

Pengguna akan memilih aplikasi yang menawarkan harga termurah dan promo terbesar. Itulah yang membuat pengguna cenderung tidak loyal terhadap satu brand.

Menurut studi Spire Research and Consulting, terdapat 50% pengguna GoJek yang loyal (hanya menggunakan GoJek, tidak aplikasi lain), dan terdapat 66% user Grab yang loyal (hanya menggunakan Grab, tidak aplikasi lain).

Untuk bisa masuk menyaingi mereka berdua tentu harus siap dengan back up pendanaan yang besar dan kuat.

Seperti kita ketahui bersama bahwa kedua perusahaan rintisan Gojek dan Grab didanai oleh investor strategis seperti Google, Temasek, KKR dll yang membuat mereka berdua menyandang gelar decacorn alias bisnis dengan valuasi mencapai US$ 10 miliar atau Rp. 140 Triliun (asumsi kurs rupiah 14.000/USD).

Artinya perang harga dan promo yang lebih dikenal dengan istilah bakar uang tadi bukan level playing field bagi ojol baru dengan modal kecil dan tidak memiliki akses pendanaan ke investor strategis.

(cnbcindonesia.com/transonlinewatch)

Loading...