Terungkap! Aplikator Ojol Gunakan Komisi untuk Mitra Driver, Pelanggan dan UMKM

Ilustrasi pengemudi ojek online tengah melihat order yang masuk dari pelanggan. (Dok/JawaPos.com)

Transonlinewatch.com – Setelah dua kali ditunda, akhirnya pada Rabu, 7 September lalu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) resmi menetapkan kenaikan tarif ojek online (ojol) di tiga zonasi wilayah yang akan efektif tanggal 11 September. Pengumuman ini disampaikan dalam konferensi pers bersamaan dengan keputusan menaikkan tarif bus antarkota antarprovinsi (AKAP) kelas ekonomi menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Kenaikan tarif ojol ini faktanya lebih kecil dibandingkan dengan rencana kenaikan sebelumnya yang sempat diumumkan Kemenhub pada 4 Agustus lalu. Melalui revisi Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor 564 Tahun 2022 yang baru, tingkat kenaikan yang dicanangkan sebelumnya antara 30-50%, direvisi menjadi 6-13%.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Hendro Sugiatno menegaskan, penyesuaian tarif dilakukan sebagai respons dari dampak kenaikan harga BBM terhadap biaya operasional pengendara ojol dan juga konsumen.

Beberapa parameter di antaranya biaya langsung dan tidak langsung. “Untuk komponen biaya jasa ojol, ada komponen terdiri dari biaya pengemudi yaitu kenaikan UMR, asuransi pengemudi, jasa minimal order 4 km, dan kenaikan harga BBM,” ujar Hendro dalam konferensi pers virtual, Rabu (7/9/2022).

Di luar dugaan, selain revisi ketentuan tarif ojol yang baru, Kemenhub juga menetapkan tambahan kebijakan yang diatur melalui KP 564 tahun 2022 ini yaitu pengurangan nilai batas maksimal biaya sewa aplikasi, dari yang sebelumnya 20%, menjadi 15%.

“Biaya sewa pengguna aplikasi ditetapkan paling tinggi 15%, turun dari 20% menjadi 15% biaya sewa aplikasi,” kata Dirjen yang juga mantan Kapolda Lampung ini.

Sebagai informasi, biaya sewa aplikasi merupakan biaya yang diterima oleh aplikator dari total tarif setiap perjalanan ojol.

Lalu, apa sebenarnya dampak pemangkasan batas maksimal biaya sewa aplikasi bagi pendapatan pengendara ojol? Apa pula dampaknya terhadap performa bisnis para aplikator dan pengaruhnya bagi konsumen?

Biaya sewa aplikasi atau yang banyak dikenal dengan istilah services fee, merupakan biaya yang lazim dipungut aplikator dari setiap perjalanan konsumen menggunakan jasa ojol. Besaran persentase biaya ini beragam. Dilansir dari beragam sumber, praktik bisnis yang banyak dilakukan oleh perusahaan sejenis di mancanegara seperti Uber, Grab, dan Bolt itu umumnya menerapkan services fee antara 20-25%. Persentase ini merupakan angka standar global yang diterapkan oleh perusahan-perusahaan tersebut.

Tim Riset CNBC Indonesia mencoba menganalisis fungsi biaya sewa aplikasi dan juga dampak dari penurunan batas maksimal biaya aplikasi terhadap pengendara, konsumen, dan performa bisnis aplikator itu sendiri. Di Indonesia, sejumlah aplikator yang merasakan dampaknya atas kebijakan Kemenhub ini di antaranya Gojek dan Grab, dua perusahaan teknologi yang paling terdepan saat ini.

Komisi Balik Lagi buat Insentif Driver

Biaya aplikasi juga digunakan aplikator seperti Gojek dan Grab untuk membiayai subsidi dan bantuan bagi para pengendaranya. Mulai dari insentif yang bersifat bonus dari performa pengendara, hingga yang bersifat membantu kebutuhan biaya operasional, seperti diskon voucher internet, pemeliharaan kendaraan, bantuan untuk pengendara seperti sembako, dan voucher belanja kebutuhan sehari hari. Artinya dari imbal jasa yang diterima melalui biaya aplikasi, aplikator-aplikator juga tetap ‘mengembalikan’ sebagian dari jumlah tersebut, kepada pengemudi dalam bentuk insentif.

Sebab itu, berkurangnya biaya jasa aplikasi berpotensi mengakibatkan perusahaan mengurangi dukungan bagi insentif biaya operasional para pengendara. Sehingga berpotensi mengurangi kemampuan aplikator untuk menopang keekonomian dari semua pihak yang ada di dalam ekosistemnya.

Padahal, menurut DBS Group Research dalam riset berjudul “Ride-sharing Profitable of Not?, disebutkan bahwa dua kunci utama yang bisa menopang bisnis aplikator penyedia jasa on-demand agar bisa untung ialah dominasi bisnis dan skala usaha. Dominasi bisnis di kota-kota utama memungkinkan perusahaan teknologi, dalam hal ini Gojek dan Grab sebagai penyedia layanan ini bisa menurunkan biaya penjualan dan pemasaran, serta bisa memberikan insentif juga kepada pengguna.

Komisi untuk Kenyamanan Layanan dan Proteksi Konsumen-Driver

Biaya sewa aplikasi, umumnya digunakan oleh perusahaan penyedia jasa ojol untuk berinovasi dalam menghadirkan produk baru yang bisa memenuhi kebutuhan serta meningkatkan kenyamanan konsumen, mulai dari program promosi hingga asuransi kecelakaan.

Selain itu, mengutip situs resmi Uber, biaya sewa aplikasi atau services fee juga digunakan salah satunya untuk mensubsidi perjalanan-perjalanan jarak dekat sehingga membuat tarif menjadi lebih terjangkau bagi konsumen. Ini tampaknya belum banyak disadari oleh para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, konsumen, dan driver itu sendiri.

Di Indonesia, GoTo, induk usaha dari Gojek, Tokopedia, dan GoTo Financial (GTF), dalam laporan keuangan di kuartal kedua (Q2) 2022 melaporkan sudah menggelontorkan Rp 3,6 triliun untuk biaya promosi dan insentif. Sedangkan Grab mengeluarkan US$ 415 juta atau setara dengan Rp 6,2 triliun (kurs Rp 14.900/US$) untuk promosi konsumen dan insentif pengendara di dalam laporan keuangan Q2-2022.

Foto: Presentasi Grab Q2-2022
Foto: Presentasi GOTO Q2-2022

Biaya ini ternyata juga diinvestasikan kembali oleh perusahaan untuk pengembangan teknologi yang menjangkau seluruh aspek layanan bagi konsumen dan pengendara. Contohnya teknologi yang membantu melindungi kerahasiaan data pribadi (data privacy), perlindungan konsumen, pemeliharaan aplikasi, dan banyak contoh lainnya yang menjamin kepuasan konsumen.

Biaya pengembangan ini juga membutuhkan investasi yang besar dan bersifat on-going cost atau biaya yang terus berjalan dikarenakan adanya kebutuhan pemeliharaan dan pengembangan yang selalu terjadi. GoTo, induk usaha Gojek, merogoh hingga Rp 2,1 triliun untuk biaya pengembangan produk di Q2-2022.

Dengan cara ini diharapkan perusahaan dapat memperoleh dampak multiplier. Karena dengan menghadirkan kenyamanan dan menjadi solusi dari kebutuhan konsumen, maka semakin banyak permintaan yang bisa didapatkan, sehingga memberikan penghasilan yang lebih besar bagi para pengemudi.

Komisi Menopang Belasan Juta UMKM

Aplikator seperti Gojek dan Grab juga memiliki sifat bisnis yang multi-sided, maka bisa dikatakan tidak hanya driver dan konsumen saja yang menikmati biaya jasa aplikasi ini, melainkan para pengusaha UMKM. Produk yang dikembangkan untuk mendukung UMKM seperti layanan jasa antarmakanan dan logistik, serta sangat bergantung dari biaya jasa aplikasi ini. Ketegantungan ini mulai dari solusi teknologi untuk UMKM dalam menjangkau konsumen, hingga dalam menghadirkan beragam program promosi bagi konsumen guna membeli produk-produk UMKM.

Bayangkan, ekosistem GoTo menggabungkan 2,6 juta mitra driver dan 15,1 juta merchant. Bahkan nilai transaksi bruto (GTV) GoTo menembus Rp 461,6 triliun, setara 2% dari pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2021. Selama pandemi, lebih dari 4 juta UMKM baru bergabung di Gojek, Tokopedia, dan GoTo Financial. Gojek pun membidik 30.000 UMKM di 13 kawasan prioritas pemerintah untuk UMKM Go Online, menggandeng Kominfo.

Sementara itu, Grab dan OVO juga ikut menjadi mitra strategis pemerintah guna mendukung tercapainya 30 juta UMKM yang didigitalisasi pada 2024. Adapun e-commerce Bukalapak melalui Mitra Bukalapak juga sudah merangkul lebih dari 10 juta UMKM di Indonesia demi mentransformasikan bisnis mereka sehingga sejajar dengan bisnis-bisnis modern.

Nasib UMKM dan sokongan kontribusi teknologi ini pun mestinya menjadi perhatian bersama, termasuk pemerintah, mengingat berdasarkan data Kadin Indonesia, teknologi terbukti mampu mendongkrak pamor sektor UMKM. Merujuk data Kadin, dari 12,5% UMKM yang sudah menerapkan strategi jualan online saat pandemi 2020-2021, semuanya tidak kena dampak ekonomi. Bahkan 27,6% di antaranya menunjukkan peningkatan penjualan.

Dengan melihat banyak pertimbangan, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, sempat menilai bahwa pemerintah mestinya berhati-hati mendesain kenaikan tarif, karena harus melihat peningkatan konsumsi kelas menengah, tingkat inflasi, dan juga tantangan yang menghambat daya beli. “Jadi kenaikan tarif seolah membantu pendapatan driver tapi sebenarnya bisa blunder,” katanya, Agustus lalu.

Saat ini, disposable income (pendapatan yang digunakan membeli barang dan jasa) dari konsumen ojol juga tergerus oleh harga pangan. Jadi naiknya tarif ojol bisa berimbas ke kenaikan biaya pengiriman makanan dan barang. Otomatis kalau antarpenumpang naik tarifnya, maka layanan sejenis juga akan naik.

“Yang rugi pelaku UMKM makanan minuman dan konsumen secara luas karena biaya ongkir jadi lebih mahal,” katanya.

Dampak bagi Bisnis Aplikator

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, pengurangan biaya sewa aplikasi untuk transportasi ojol dapat menyebabkan beberapa layanan yang sudah dibuat aplikator menjadi tidak maksimal. Nailul pun menyarankan pemerintah untuk berhati-hati di dalam mengatur biaya sewa aplikasi ini.

“Situasi ini bisa membuat aplikator menaikkan tarif ke ambang batas atas. Hal itu tentu akan membuat konsumen berpikir ulang untuk menggunakan ojol dalam aktivitas mereka sehari-hari yang artinya bisa berdampak permintaan layanan ojol,” ucap Nailul.

Model bisnis aplikator seperti Gojek, Grab, In-Driver, dan Maxim bergantung pada komisi untuk menutupi ongkos operasional, yang terdiri dari pengembangan dan pemeliharaan teknologi; biaya sales, marketing dan promosi kepada pelanggan; biaya insentif kepada pengendara; dan inovasi yang bertujuan untuk meningkatkan penggunaan aplikasi.

Terlebih, beberapa perusahaan aplikator yang sudah berstatus go public seperti Gojek di Bursa Efek Indonesia lewat bendera GOTO dan Grab di Nasdaq masih berada dalam posisi rugi (kerugian nett GoTo khusus periode Q2-2022 Rp7,6 triliun, sementara itu kerugian nett Grab di Q2 Rp8,5 triliun atau US$ 572 juta).

Jika komisi dipangkas, para aplikator belum tentu mampu untuk menjalankan model bisnis saat ini dan akan berimbas ke jutaan bahkan puluhan juta orang yang bergantung pada aplikator sebagai mata pencaharian, termasuk para mitra dan pelanggannya.

Perlu ada jalan tengah bagi pengambil kebijakan untuk menentukan besaran komisi yang pantas dan proporsional dengan investasi besar yang dikeluarkan. Hal ini penting mengingat dengan komisi yang di bawah ketentuan umum global, berpotensi bisa menghambat kemampuan perusahaan dalam menggandakan cakupan bisnisnya. Dampak lainnya dan berefek panjang ialah menurunnya kemampuan perusahaan aplikator untuk terus mengembangkan fitur-fitur yang dihadirkan guna mendukung kenyamanan, tidak hanya bagi konsumen melainkan juga bagi jutaan UMKM yang bergantung dalam ekosistemnya.

(tow) Artikel ini telah tayang di cnbcindonesia.com

Loading...