Soal Taksi Bandara, YLKI: Konsumen Berhak Bebas Memilih

Fenomena “gunung es” pengelolaan taksi di sejumlah bandara di Indonesia dikhawatirkan kian memburuk. Oleh sebab itu, butuh perhatian serius dari regulator, terutama operator bandara dengan menitikberatkan kepentingan konsumen. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI) Tulus Abadi mengatakan kasus yang menimpa peumpang taksi di Bandara Ahmad Yani, Semarang, belum lama ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.

”Konsumen sebagai pengguna taksi sering menjadi korban, baik karena mahalnya tarif taksi dan atau kualitas pelayanannya yang tidak standar. Fenomena ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, tanpa solusi jangka panjang,” kata Tulus dalam pernyataannya, Selasa (14/8/2018).

Pada kasus yang terjadi pada 15 Juli 2018 lalu tersebut, taksi pilihannya diberhentikan di tengah jalan oleh oknum petugas setempat. Alasannya, taksi berwarna biru pilihannya bukan taksi bandara sehingga dia harus turun pindah taksi yang ditentukan operator bandara. Opsi lain adalah diantar keluar bandara, kemudian bebas memilih moda transportasi.

Baca Juga :  Perusahaan Fintech Diwajibkan Punya Rekening, Begini Respon CEO Go-Pay

Mengingat banyaknya bandara yang berstatus enclave sipil (pemanfaatan bandara militer untuk umum) di Indonesia maka Tulus mengusulkan sejumlah poin kepada Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Pemerintah Daerah (Pemda), Angkasa Pura, dan pihak terkait lainnya. Tujuannya untuk menjaga kepentingan konsumen.

Usulan-usulan dimaksud antara lain memberikan akses lebih banyak taksi dari berbagai merek perusahaan taksi di bandara, terutama taksi yang berbasis argo meter.

”Semakin banyak perusahaan taksi, semakin kuat jaminan bagi konsumen untuk memilih,” sebut Tulus. Selain itu, kalaupun di bandara tersebut hanya terdapat perusahaan taksi tunggal dari suatu operator tertentu maka harus ditentukan melalui proses lelang alias tender yang terbuka dan transparan.

Manajemen bandara juga harus membuat Service Level Agreement (SLA) dengan perusahaan taksi yang beroperasi di bandara. ”Dengan berbasis SLA itulah menjadi dasar adanya standar pelayanan taksi yang jelas dan terukur. Bagi perusahaan yang tidak mampu memenuhi SLA harus didiskualifikasi dari bandara,” sebut Tulus.

Baca Juga :  Go-Viet Mulai Buka Pendaftaran Bagi Driver, Ini Penampakannya

Kemenhub dan Pemda harus pro aktif menyelesaikan permasalahan pengelolaan taksi di berbagai bandara enclave sipil di Indonesia. ”Selain dengan armada taksi, setiap bandara idealnya menyediakan akses angkutan umum non taksi, baik yang berbasis rel, bus umum, Damri, dan atau BRT (Bus Rapid Transit)” imbuhnya.

Tulus berharap solusi segera dan bersifat jangka panjang dari persoalan itu. Sebab, di banyak bandara lainnya ditemukan masalah yang lebih memerihatinkan terkait kepentingan konsumen dalam memilih moda transportasi.

(kompas/tow)

Loading...