Driver GoJek ini Punya Cara Kreatif Selamatkan Perempuan dari Pelecehan Seksual di Transportasi Publik

Para penumpang saat akan naik bus Transjakarta di Halte Harmoni, Jakarta Pusat, Kamis (3/1/2019). Rencananya Transjakarta pada tahun 2019 ini akan melakukan integrasi atau konektivitas dengan moda transportasi lainnya, dengan melakukan pembangunan fasilitas fisik interkoneksi antara halte transjakarta dan stasiun MRT Jakarta yang diawali dengan halte Bunderan HI dan halte Tosari. Kemudian dilanjutkan dengan halte CSW Sisingamangaraja dan halte Lebak Bulus. Transjakarta pun menargetkan penumpang mencapai 231 juta dengan 236 rute yang dilayani. | AKURAT.CO/Sopian

Driver Gojek bernama Ridwan (bukan nama sebenarnya), hari itu, sedang meliburkan diri. Ketika sedang bepergian, di salah satu halte bus Transjakarta, Ridwan melihat seorang perempuan yang juga sedang mengantre diganggu seorang lelaki.

Ridwan merasa bertanggungjawab untuk membantu menghentikan tindakan lelaki itu.

Dia berpura-pura bertengkar dengan temannya dan ternyata berhasil mengalihkan perhatian lelaki pengganggu perempuan tadi.

Ilustrasi driver ojek online. AKURAT.CO/Endra Prakoso

Cara kreatif Ridwan berhasil menyelamatkan perempuan dari usaha pelecehan seksual lebih jauh.

Apa yang dilakukan oleh driver Gojek itu, dalam metode yang disampaikan oleh periset Koalisi Ruang Publik Aman sekaligus Co-director Hollaback Jakarta Anindya Restuviani, disebut distract.

Ridwan berinisiatif melakukan intervensi tanpa harus berkonfrontasi langsung dengan pelaku.

Koalisi Ruang Publik Aman selama ini melatih sebagian pengguna transportasi umum menjadi relawan untuk membantu korban pelecehan seksual di tempat umum.

Metode intervensi yang diajarkan kepada relawan bernama 5D.

Pertama, intervensi secara langsung (direct). Metode ini mengajarkan saksi untuk langsung mengingatkan pelaku pelecehan seksual.

“Pak, pelecehan, nggak sopan’,” kata Vivi – sapaan Anindya Restuviani.

Kedua, distract. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Ridwan di halte bus Transjakarta. Saksi bisa berpura-pura menjadi teman atau menanyakan jam pada korban ketika sedang terjadi pelecehan.

Ketiga, delay. Metode ini mengajarkan saksi membantu menunda trauma yang dialami korban. Caranya, antara lain menanyakan bantuan apa yang dibutuhkan.

“Delay yang selemah-lemahnya iman bisa kita lakukan. Ini salah satu cara untuk menunjukkan bahwa kita memberikan dukungan pada korban,” kata Vivi.

Keempat, dokumentasi. Bagian ini sangat vital. Dokumentasi, misalnya dengan alat perekam (telepon seluler) bisa menjadi alat bukti kalau kasus pelecehan seksual nanti diproses secara hukum.

“Tapi ada hal yang perlu diingat ketika mendokumentasikan. Kita harus jaga jarak. Kedua, make sure bahwa tanda-tanda sekitar itu kelihatan, jadi itu ada dimana itu terlihat. Ketiga, make sure tanggal dan juga waktu,” kata Vivi.

Baca Juga :  Mantap, Perjuangan Driver GoJek Terobos Banjir Antarkan Pesanan GoFood dapat Apresiasi dari Masyarakat, ini Videonya
Anindya Restuviani. AKURAT.CO/Maidian Reviani

Ingat juga, dokumentasi pelecehan seksual tidak boleh disimpan sendiri, tetapi harus diserahkan kepada korban. Saksi harus minta persetujuan korban hendak diapakan barang buktinya. Jika korban meminta saksi menghapusnya, harus segera dihapus.

Kelima, delegasi. Delegasi yaitu melaporkan kejadian kepada pihak berwajib dan akan lebih kuat lagi jika disertai dengan barang bukti.

Temuan-temuan dalam penelitian kasus pelecehan seksual di ruang publik seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan penyedia layanan transportasi.

Pengambil kebijakan mesti merumuskan secara serius kebijakan dalam menangani kasus pelecehan seksual, khususnya kepada perempuan.

Kebijakan tersebut harus memihak kelompok rentan, perempuan, marjinal, dan korban penyintas kekerasan seksual.

Selama ini, di lapangan, penanganan terhadap korban pelecehan seksual di alat transportasi publik berbelit-belit.

Beberapa waktu yang lalu, Koalisi Ruang Publik Aman menerima laporan dari korban pelecehan seksual di kereta rel listrik. Prosesnya berbelit-belit dan ujungnya tidak ada penyelesaian.

“Itu korbannya dioper-oper, kejadiannya di stasiun A di kota ini, dia nyampai di stasiun ini pelakunya ada, pelakunya juga ngaku dia melakukan perabaan terhadap payudara tapi tidak diusut karena korbannya harus balik lagi ke stasiun awal, karena naik di stasiun ini dan kejadiannya di stasiun ini. Diputer, sampai stasiun itu dioper lagi, minta rujukan sana, visum sana visum sini, ujung-ujungnya tidak ada penyelesaian dan padahal si pelakunya ada dan mengaku,” kata peneliti dari Koalisi Ruang Publik Aman, Rastra.

Agar kasus semacam itu tidak terulang, koalisi mengatakan selalu siap apabila diajak rembugan untuk membuat regulasi demi menjamin masyarakat – terutama pengguna transportasi publik — dari Sabang sampai Marauke mendapatkan kenyamanan dan kalau terjadi pelecehan, pelakunya bisa ditindak tegas.

Baca Juga :  Customer ini Bagikan Pengalaman Haru dapat Pengemudi GoJek Bisu Tuli

“Ayo kita bekerjasama membuat regulasi yang benar-benar membantu dan mengakhiri kekerasan seksual di ruang publik,” kata Rastra.

Koalisi Ruang Publik Aman perannya hanya sampai pada batas pencegahan. Penanganan kasus merupakan ranahnya polisi, kejaksaan, dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan.

Vivi menekankan pihak berwajib mesti menggunakan perspektif korban pelecehan seksual. Pasalnya, selama ini penanganannya justru terkesan membikin sulit korban, sebagaimana yang diungkapkan Rastra.

“Dan selama ini untuk pembuktian-pembuktian saja dijatuhkannya kepada korban, kayak jarang banget polisi mau nyari bukti sendiri, yang ada malah korban yang disuruh nyari bukti, untuk nyiapin buktinya, kita disuruh cari bukti segala macam. Itu adalah contoh-contoh bagaimana penanganan dari pihak yang harusnya menangani memang tidak berperspektif terhadap korban,” kata dia.

Vivi menilai regulasi yang dibuat oleh Kementerian Perhubungan belum menempatkan isu pelecehan seksual, khususnya terhadap perempuan, sebagai masalah penting. Selain itu, belum menganggap isu kesetaraan gender secara menyeluruh, hal itu, kata Vivi, tercermin dari produk hukum yang dibuat.

“Karena hampir dari setengah masyarakat Indonesia kan perempuan yang paling banyak naik transportasi umum. Dan otomatis lihat kalau data (hasil survei) jelas 13 kali lebih rentan (dari lelaki). Means, harus kita lakukan sesuatu dan regulasi itu sendiri,” kata Vivi.

Kepada perusahaan penyedia moda transportasi publik didorong lebih serius menjamin keamanan konsumen dari serangan predator seksual.

Perusahaan, terutama transportasi yang menggunakan aplikasi online, jangan pula membebankan seluruh tanggungjawab kepada mitra driver mereka. Fakta yang terjadi, driver perempuan juga menjadi korban, walaupun jumlahnya sedikit.

Baca Juga :  Mengharukan, Jujur Saat Mengantar Uang Rp 100 Juta, Driver GoJek ini Dapat Hadiah Tak Terduga

Hollaback Jakarta pernah mendapatkan laporan dari driver online perempuan yang tidak mau mengambil order penumpang di malam hari karena takut menjadi korban pelecehan seksual. Demi keamanan, driver tersebut hanya mau menerima melayani order makanan.

“Nah itu, hal-hal ini harus kita unknowledge juga bahwa juga gerbong khusus perempuan sebenarnya itu hanya menyelesaikan masalah dalam jangka pendek, hanya parsial, malah membatasi ruang gerak perempuan, kesannya perempuan hanya boleh di situ saja,” kata Vivi.

Isu pelecehan di ruang publik harus digaungkan terus. Jangan sampai pengambil kebijakan dan publik lupa predator selalu bergentayangan mencari mangsa di tempat umum.

“Satu korban terlalu banyak. Satu saja sudah terlalu urgent karena harusnya tidak ada korban,” kata Vivi.

Keberanian saksi untuk menghentikan atau membantu korban predator seksual diapresiasi oleh komisioner Komisi Nasional Perempuan Magdalena Sitorus.

Tetapi bagaimanapun juga, pelaku harus diberikan hukuman agar jera.

Itu sebabnya, Magdalena mengatakan bahwa pengambil kebijakan harus merumuskan regulasi sederhana, tetapi efeknya benar-benar dirasakan predator seksual.

Misalnya, data perusahaan operator penyedia transportasi publik harus terintegrasi. Jika pelaku tertangkap, petugas harus mencatat kartu tanda penduduknya. Data identitas pelaku kemudian disebarkan ke semua operator. Hukumannya, pelanggar hukum itu dilarang menggunakan transportasi umum dalam kurun waktu tertentu.

“Jadi bukan dia kemudian bisa lari ke MRT atau busway (setelah melanggar di angkutan yang lain). Artinya ada sanksi yang jelas,” kata Magdalena.

“Jadi (nanti) betapa sulitnya dia (pelaku) tidak bisa naik (transportasi) ini dan itu, jadi (hukuman itu) akan membuat dia mikir dua kali,” Magdalena menambahkan.

(akurat.co/Maidian Reviani)

Loading...