Revisi Permenhub 32/2016 tentang Taksi Online “Hanya Mengakomodasi Kepentingan Organda dan Merugikan konsumen”

Massa Driver Online dan Konvensional foto : republika

Pertempuran antar moda transportasi masih akan mewarnai Indonesia sampai beberapa waktu ke depan. Keputusan terbaru Kementerian Perhubungan mengatur tarif dan kuota kendaraan layanan taksi berbasis aplikasi menuai pro-kontra. Pemerintah menerima banyak keluhan dari Organda, jika layanan seperti Uber, Grab, dan GO-JEK menghamburkan subsidi besar-besaran, membuat tarif angkutan umum seperti taksi tak lagi kompetitif.

“Kalian (taksi online) akan berebut pasar jangan semuanya diambil,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat bertemu perwakilan perusahaan transportasi online akhir pekan lalu. “Bagi kue-kue ke semua pihak.”

Manuver terbaru pemerintah mengatur keberadaan taksi online dimuat dalam Revisi Peraturan Menteri Nomor 32/2016 soal taksi online. Ada 11 regulasi baru yang akan diterapkan pada Uber, Grab, serta GO-JEK—triumvirat bisnis transportasi online di Indonesia. Misalnya jenis kendaraan, kapasitas mesin, tanda nomor kendaraan, pajak, keberadaan pool, ketersediaan bengkel, uji KIR, jumlah armada, tarif, akses ke dashboard, hingga sanksi.

Dari semua poin itu, yang paling diperdebatkan adalah soal pengaturan tarif batas atas dan bawah bagi taksi online. Pemerintah merasa sistem tarif taksi aplikasi terlampau membanting harga untuk menjatuhkan bisnis transportasi umum konvensional.

Poin lain yang diatur dalam revisi Permenhub itu adalah kuota jumlah kendaraan dari perusahaan transportasi online yang boleh beroperasi di satu wilayah. Dua poin inilah yang membuat perusahaan aplikasi segera bersatu, menekan pemerintah agar menangguhkan beleid yang seharusnya berlaku per 1 April mendatang. Dalam keterangan pers bersama, ketiga perusahaan itu menganggap permenhub ini “proteksionis” dan tidak “pro-konsumen”.

“[Revisi Permenhub] tersebut tidak sejalan dengan semangat ekonomi kerakyatan berbasis teknologi. Kami percaya bahwa kuota jumlah kendaraan, baik pengguna aplikasi mobilitas maupun konvensional, tidak perlu dibatasi karena berpotensi menghadirkan iklim bisnis yang tidak kompetitif,” menurut sikap bersama ketiga perusahaan taksi aplikasi terbesar di Indonesia.

“Revisi Ini bisa berpotensi menjadi kendala bagi layanan transportasi yang aman dan nyaman. Revisi harusnya mengedepankan inovasi,” kata Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata melalui keterangan tertulis.

Setelah serangkaian lobi-lobi, perusaahaan transportasi online kembali lolos dari lubang jarum. Pemerintah sepakat menunda tiga poin kontroversial yang diatur dalam revisi permenhub, yakni tarif batas bawah dan atas, uji KIR, surat izin mengemudi (SIM), serta kuota angkutan yang boleh beroperasi. Tiga hal ini akan dikaji lebih lanjut penerapannya selama tiga bulan ke depan.

Pengamat Transportasi Azas Tigor Nainggolan, ketika dihubungi VICE Indonesia, menegaskan bahwa ada hal lain yang lebih esensial diatur Kementerian Perhubungan dibandingkan tarif transportasi online. Bagaimanapun, dia bilang, keberadaan angkutan berbasis aplikasi menguntungkan konsumen dan memperluas akses publik menggunakan sarana transportasi.

“Buat dulu segera soal Standar Pelayanan Minimum (SPM). Itu untuk kepentingan haknya pengguna sebagai konsumen taksi online,” kata Azas. Misalnya mana kendaraan yang layak jalan, harus pakai AC, pengemudinya tidak boleh ugal-ugalan misalnya”.

Senada, Pengamat Kebijakan Publik, Medrial Alamsyah khawatir kebijakan proteksionis pemerintah yang condong mengakomodasi kepentingan Organda hanya akan merugikan konsumen, karena harus membayar mahal ongkos transportasi. “Saya soal tarif ini tidak setuju ketika dia diatur. Karena kalau yang saya baca di Permen, dia ingin melindungi konsumen. Tapi implikasi dari perlindungan konsumen itu menimbulkan biaya yang pasti dibebankan kepada konsumen,” kata pengamat Kebijakan Publik, Medrial Alamsyah ketika dihubungi VICE Indonesia. “Kalau aturan ini mengakibatkan konsumen tidak mendapatkan keuntungan dari persaingan ini, ya menurut saya itu aturan jadi tidak adil bagi konsumen”

Konsumen sejauh ini sudah menyuarakan sikapnya atas kebijakan terbaru pemerintah ini lewat media sosial. Sebagian dari mereka berkukuh akan mendukung keberadaan taksi berbasis aplikasi.

Pertempuran antar moda transportasi masih akan mewarnai Indonesia sampai beberapa waktu ke depan. Keputusan terbaru Kementerian Perhubungan mengatur tarif dan kuota kendaraan layanan taksi berbasis aplikasi menuai pro-kontra. Pemerintah menerima banyak keluhan dari Organda, jika layanan seperti Uber, Grab, dan GO-JEK menghamburkan subsidi besar-besaran, membuat tarif angkutan umum seperti taksi tak lagi kompetitif.

“Kalian (taksi online) akan berebut pasar jangan semuanya diambil,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat bertemu perwakilan perusahaan transportasi online akhir pekan lalu. “Bagi kue-kue ke semua pihak.”

Manuver terbaru pemerintah mengatur keberadaan taksi online dimuat dalam Revisi Peraturan Menteri Nomor 32/2016 soal taksi online. Ada 11 regulasi baru yang akan diterapkan pada Uber, Grab, serta GO-JEK—triumvirat bisnis transportasi online di Indonesia. Misalnya jenis kendaraan, kapasitas mesin, tanda nomor kendaraan, pajak, keberadaan pool, ketersediaan bengkel, uji KIR, jumlah armada, tarif, akses ke dashboard, hingga sanksi.

Dari semua poin itu, yang paling diperdebatkan adalah soal pengaturan tarif batas atas dan bawah bagi taksi online. Pemerintah merasa sistem tarif taksi aplikasi terlampau membanting harga untuk menjatuhkan bisnis transportasi umum konvensional.

Poin lain yang diatur dalam revisi Permenhub itu adalah kuota jumlah kendaraan dari perusahaan transportasi online yang boleh beroperasi di satu wilayah. Dua poin inilah yang membuat perusahaan aplikasi segera bersatu, menekan pemerintah agar menangguhkan beleid yang seharusnya berlaku per 1 April mendatang. Dalam keterangan pers bersama, ketiga perusahaan itu menganggap permenhub ini “proteksionis” dan tidak “pro-konsumen”.

“[Revisi Permenhub] tersebut tidak sejalan dengan semangat ekonomi kerakyatan berbasis teknologi. Kami percaya bahwa kuota jumlah kendaraan, baik pengguna aplikasi mobilitas maupun konvensional, tidak perlu dibatasi karena berpotensi menghadirkan iklim bisnis yang tidak kompetitif,” menurut sikap bersama ketiga perusahaan taksi aplikasi terbesar di Indonesia.

“Revisi Ini bisa berpotensi menjadi kendala bagi layanan transportasi yang aman dan nyaman. Revisi harusnya mengedepankan inovasi,” kata Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata melalui keterangan tertulis.

Setelah serangkaian lobi-lobi, perusaahaan transportasi online kembali lolos dari lubang jarum. Pemerintah sepakat menunda tiga poin kontroversial yang diatur dalam revisi permenhub, yakni tarif batas bawah dan atas, uji KIR, surat izin mengemudi (SIM), serta kuota angkutan yang boleh beroperasi. Tiga hal ini akan dikaji lebih lanjut penerapannya selama tiga bulan ke depan.

Pengamat Transportasi Azas Tigor Nainggolan, ketika dihubungi VICE Indonesia, menegaskan bahwa ada hal lain yang lebih esensial diatur Kementerian Perhubungan dibandingkan tarif transportasi online. Bagaimanapun, dia bilang, keberadaan angkutan berbasis aplikasi menguntungkan konsumen dan memperluas akses publik menggunakan sarana transportasi.

“Buat dulu segera soal Standar Pelayanan Minimum (SPM). Itu untuk kepentingan haknya pengguna sebagai konsumen taksi online,” kata Azas. Misalnya mana kendaraan yang layak jalan, harus pakai AC, pengemudinya tidak boleh ugal-ugalan misalnya”.

Senada, Pengamat Kebijakan Publik, Medrial Alamsyah khawatir kebijakan proteksionis pemerintah yang condong mengakomodasi kepentingan Organda hanya akan merugikan konsumen, karena harus membayar mahal ongkos transportasi. “Saya soal tarif ini tidak setuju ketika dia diatur. Karena kalau yang saya baca di Permen, dia ingin melindungi konsumen. Tapi implikasi dari perlindungan konsumen itu menimbulkan biaya yang pasti dibebankan kepada konsumen,” kata pengamat Kebijakan Publik, Medrial Alamsyah ketika dihubungi VICE Indonesia. “Kalau aturan ini mengakibatkan konsumen tidak mendapatkan keuntungan dari persaingan ini, ya menurut saya itu aturan jadi tidak adil bagi konsumen”

Konsumen sejauh ini sudah menyuarakan sikapnya atas kebijakan terbaru pemerintah ini lewat media sosial. Sebagian dari mereka berkukuh akan mendukung keberadaan taksi berbasis aplikasi.

Tanpa solusi yang cerdas, perang antar moda transportasi umum ini akan terus diselesaikan di Jalanan. Publik tentu masih ingat bagaimana ruas jalan utama seperti Kompleks DPR RI, Balai Kota DKI Jakarta, dan gedung Kementerian Komunikasi dan Informasi lumpuh, akibat diblokade ribuan pengemudi angkutan umum, terutama taksi konvensional yang mogok besar-besaran menolak keberadaan aplikasi. Begitu pula insiden perusakan ojek online oleh pengendara angkot di Bogor pekan lalu. Sopir-sopir itu, baik dari perusahaan konvensional maupun online, adalah pelanduk yang dipastikan mati pertama kali selama gajah-gajah yang menguasai modal terus berkelahi.

(vice/tow)

Loading...