Merugi, Uber Hengkang dari China

Ekspansi ke pasar China menjadi salah satu target perusahaan raksasa teknologi Amerika serikat (AS). Alasannya, jumlah penduduknya yang besar yang menandakan kue bisnis yang cukup besar.

Namun menaklukan pasar bukan perkara mudah. Terbaru, raksasa e-commerce Amazon yang memutuskan untuk menutup bisnis marketplace di China dan beralih ke marketplace lintas negara. Amazon kalah bersaing dengan Alibaba, JD.com atau pemain e-commerce kecil lainnya.

Sebelum Amazon memilih hengkang, ada Uber Technologies yang sudah lebih dulu keluar dari China. Uber meninggalkan China pada Agustus 2016 dan menjual bisnisnya ke Didi Chuxing, kompetitornya dalam ride-hailing seharga US$8 miliar atau setara Rp 112 triliun (asumsi US$1 = Rp 14.000).

Keputusan ini mengejutkan banyak pihak. Pasalnya, pemerintah China baru saja melegalkan bisnis taksi online dan membuat aturan yang lebih ramah bagi perusahaan. Bahkan Dan Loeb seorang hedge fund menyatakan hal ini sebagai peluang bertumbuh meski 80% pasar sudah dikuasai Didi Chuxing.

Baca Juga :  Penghapusan Diskon Ojek Online Melahirkan Pro dan Kontra

“China memiliki tingkat kepadatan ang tinggi antara negara besar manapun dan merupakan rumah bagi 30 kota terbesar di dunia. Platform ride-hailing cenderung berfungsi paling baik di kota-kota padat penduduk. Apalaagi tingkat kepemilikan mobil di China cukup rendah,” ujar Dan Loeb, seperti dikutip dari Business Insider, Senin (22/4/2019).

Lalu apa masalah Uber di China? Salah satu masalah Uber di China adalah program bakar duit yang berlebihan. Didi Chuxing berani membakar duit dengan mengusir pesaingnya dari pasar. Mereka memberikan diskon dalam jumlah besar yang membuat Uber mengalami kerugian hampir US$1 miliar per tahun.

Hal ini membuat banyak mitra driver lebih senang bekerja sama dengan Didi Chuxing. Namun kini subsidi tersebut sudah berangsur berkurang ketika Uber meninggalkan pasar.

Baca Juga :  Budi Karya Sumadi: Go-Jek dan Grab Sepakat Menaikkan Tarif Ojek Online

“Di 2016 (Uber) dan Didi bertarung seperti Anjing. Jika driver mendapatkan 100 yuan, mereka memberikan subsidi 100 yuan,” ujar salah satu driver Didi kepada Reuters Januari lalu.

Kebijakan Pemerintah

Faktor lainnya, tindakan yang tidak sama antara pemain domestik dengan pemain asing. Presiden China berubah menjad seorang yang sangat nasionalis yang membuat bisnis pemain asing tak berkembang.

Pada 2011 Dewan Bisnis AS-China memperingatkan perusahaan AS bahwa pemerintah China lebih menyukai perusahaan domestik dan di bawah Presiden Xi Jinping, hal ini menjadi lebih buruk.

Dalam survei Agustus 2015 , Kamar Dagang Amerika di China menemukan hanya 25% anggotanya di sektor jasa yang optimistis soal kondusifnya aturan di Tiongkok. Survei tersebut bahkan menemukan sebagian besar responden khawatir pemerintah Cina membatasi upaya pengumpulan data kunci untuk perusahaan asing.

Baca Juga :  Kota New York akan Batasi Layanan Taksi Online, Warga Menjerit

Selain itu ada kurangnya informasi tentang aturan keterlibatan atau prosedur peraturan jika terjadi perselisihan, dan definisi keamanan nasional yang terlalu luas yang diterapkan pada kegiatan yang tidak pernah didapati oleh para pengusaha AS.

(cnbcindonesia/tow)

Loading...