Bagaimana Aplikasi Transportasi Online Bekerja di Balik Layar Smartphone? Antara Driver dan Pelanggan

Ride-sharing istilah yang makin populer belakangan ini melekat pada profesi menjadi driver ojek atau taksi online yang kian diminati masyarakat. Bekerja sebagai driver ojek taksi online terus dicari para pencari kerja.

Buktinya kata kunci “menjadi driver Go-Jek” berada di posisi keempat sub tema “Cara Menjadi” di sepanjang 2017 dalam pencarian Google. Pola kerja dengan waktu yang fleksibel dan tawaran pendapatan yang menjanjikan menjadi daya tarik tersendiri. Selain itu modal dukungan peralatan yang relatif mudah dipenuhi calon driver.

Baca: Dianggap Memiliki Pangsa Pasar yang Sangat Besar, Google dan Temasek Invenstasi ke Go-Jek

Seorang driver ojek online misalnya, hanya memerlukan beberapa alat operasional yang vital, sepeda motor dan smartphone. Selain keduanya ada aplikasi yang jauh lebih penting. Di Indonesia, aplikasi ride-sharing dilayani oleh Go-Jek, Grab, dan Uber. Bagi pengguna, aplikasi ojek atau taksi online, sangat mudahnya dioperasikan menemani keseharian terutama bagi mereka yang tinggal di perkotaan untuk keperluan mobilitas.

Namun, di balik aplikasi yang sangat membantu itu, ada sisi pengembang yang selama ini membuat aplikasi seperti Uber, Grab, dan Go-Jek. Pengembangan aplikasi ini bukanlah sesuatu yang murah dan mudah. Uber, dalam laporan The Next Web, diperkirakan menghabiskan biaya antara $1 juta hingga $1,5 juta untuk mengembangkan aplikasi.

Alty, salah satu perusahaan pengembang aplikasi, menyebut angka antara $25 ribu hingga $40 ribu sebagai biaya minimum yang harus disiapkan untuk membuat aplikasi ride-sharing sederhana. Namun untuk aplikasi yang lebih kompleks butuh biaya antara $100 ribu hingga $150 ribu.

Baca: Go-Jek Vs Grab, Babak Baru Setelah Go-Jek dapat Kucuran Dana dari Google

Baca Juga :  Sedih! Driver Ojol Ini Dibayar Pakai Uang Mainan Bikin Netizen Menangis

Selain itu untuk membangun aplikasi ride sharing butuh waktu yang tak sedikit. Aplikasi ride-sharing dibuat dengan jam kerja yang cukup tinggi. Alty membagi-bagi jam kerja ke beberapa fungsi yang membentuk aplikasi ride-sharing antara lain fungsi navigasi, fungsi metode pembayaran, user interface/user experience, fungsi registrasi/profile, fungsi notifikasi, dan fungsi integrasi layanan SMS dan telepon. Masing-masing pengerjaan fungsi, membutuhkan waktu kerja antara 20 jam hingga 140 jam.

Secara mendasar, aplikasi ride-sharing Uber dan aplikasi lainnya dibangun dengan memanfaatkan Python, Node.js, Go, dan Java. Python, Go, dan Java, merupakan tiga bahasa pemrograman. Bahasa pemrograman merupakan bahasa spesifik yang tersusun atas set-set perintah.

Bahasa-bahasa inilah yang dipergunakan membangun aplikasi ride-sharing. Phyton merupakan bahasa yang diciptakan Guido van Rossum pada 1991. Go merupakan bahasa pemrograman ciptaan Google pada 2009. Sementara Java merupakan bahasa yang dirancang James Gosling di 1995. Android, secara fundamental, dibangun menggunakan Java.

Selain bahasa pemrograman, aplikasi seperti Uber memanfaatkan teknologi bernama Node.js. Suatu teknologi yang digunakan untuk dapat menjalankan JavaScript, suatu bahasa pemrograman spesifik, pada mesin yang mereka pakai.

Bagaimana Aplikasi Ride-Sharing Bekerja

Aplikasi ride-sharing seperti Go-Jek atau lainnya, bekerja selayaknya SMS atau telepon. Paling tidak itu yang diakui Wahyu—seorang driver salah satu perusahaan aplikasi ojek online—berusia 58 tahun kepada Tirto. Ketika ada notifikasi masuk, seketika itu juga sistem aplikasi bekerja. Seorang driver hanya butuh menekan tombol atau sebaliknya dari layar ponsel saat akan menerima pesanan atau mengabaikannya.

Aplikasi ride-sharing atau ojek online, secara kasat mata terlihat sederhana. Namun, mengutip laman pengembangan Uber, aplikasi ride-sharing “sebenarnya terdiri dari arsitektur yang rumit di back-end (istilah untuk merujuk mesin yang bekerja di balik layar), termasuk sistem rute dan algoritma yang canggih yang mengarahkan kendaraan ke pengguna dan pengguna ke tujuan.”

Baca Juga :  Berusaha Padamkan Api Sisa Unjuk Rasa, Driver Ojol Dapat Banyak Doa dan Pujian

Secara sederhana, cara kerja aplikasi ride-sharingtulis Uber, dilakukan dalam tiga tahap: request, ride,dan pay & go. Namun, secara lebih luas, aplikasi ride-sharing bekerja dalam dua sisi. Sisi pengguna dan sisi pengemudi atau driver. Pada sisi pengguna, aplikasi tersusun atas beberapa fungsi penting. Semisal fungsi registrasi, pemesanan, kalkulasi tarif, metode pembayaran, hingga rating/penilaian.

Aplikasi di sisi pengguna digunakan untuk memberikan permintaan pengguna atas layanan ride-sharing. Pada sisi pengemudi atau driver, aplikasi tersusun atas beberapa fungsi penting seperti profil pengemudi, pemberitahuan order masuk, navigasi, hingga laporan. Di sisi ini, aplikasi bekerja sebagai penerima permintaan atau orderan yang masuk.

Uber, menjalankan aplikasinya menggunakan teknik hybrid cloud model. Ini didukung dengan menggunakan provider komputer awan (cloud computing) yang beragam dan berbeda. Teknik ini dipilih terutama untuk menghindarkan error atau kegagalan kerja

Secara sederhana, bila pengguna melakukan permintaan layanan ride-sharing milik Uber dari A ke B, sistem Uber kemudian akan mengarahkan permintaan itu ke pusat data terdekatnya untuk diproses. Namun, di balik layar, permintaan itu juga dikerjakan pusat data milik Uber lainnya di lokasi yang berbeda. Jika pusat data terdekat rusak, ia didukung penuh pusat data lainnya. Agar tak ada permintaan pengguna yang terlewatkan.

Guna mendukung kerja tersebut, Uber memanfaatkan teknologi bernama Terraform dan Schemaless. Terraform merupakan suatu alat yang digunakan untuk membangun dan mengubah infrastruktur teknologi pusat data secara efisien dan aman. Sementara Schemelss merupakan teknologi buatan Uber yang berguna untuk menata penampungan data.

Baca Juga :  Good Doctor Indonesia Kerja Sama dengan Grab Tangkal Hoaks Corona

Kerja aplikasi ride-sharing dilakukan secara otomatis, memanfaatkan algoritma yang telah dirancang khusus. Suatu pesanan, dihubungkan dengan pengemudi berdasarkan jarak antara keduanya. Pengguna yang memesan ride-sharing di wilayah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, akan dihubungkan oleh sistem dengan driver ride-sharing yang ada di wilayah sekitar. Cara kerja ini, menitikberatkan pada layanan navigasi atau perpetaan yang akurat. Google Maps, berperan vital penting di sini.

Di hampir semua aplikasi ride-sharing, seperti Uber, Grab, hingga Go-Jek, memanfaatkan Google Maps sebagai alat navigasi utama mereka. Selain digunakan memetakan lokasi pengguna dan pengemudi, Google Maps pun digunakan untuk menentukan jarak tempuh dan petunjuk turn-by-turn ke lokasi tujuan pemesan.

Layanan Google Maps tak gratis. Paling tidak bila digunakan untuk kepentingan bisnis. Di laman resmigoogle permintaan penggunaan layanan Google Maps menggunakan aplication programming interface mereka dihargai gratis jika hanya sampai 2.500 permintaan. Namun, tiap kelebihan 1.000 permintaan dihargai $0,5.

Pemanfaatan Google Maps saja tak cukup. Uber masih harus mengemas dengan menggunakan teknologi ciptaan mereka bernama Gurafu, suatu teknologi yang mampu menghadirkan navigasi secara lebih efisien dan lebih akurat. Selain itu, ada algoritma khusus yang ditambahkan di fungsi ini. Uber mengklaim mampu memprediksi alamat tujuan bahkan ketika calon penumpang baru akan mengetik permintaan baru 50 persen alamat tujuan.

Aplikasi ride-sharing yang mudah dioperasikan oleh calon pengguna, lahir dari proses yang panjang dan cara kerja yang rumit dan kompleks. Ini terjadi saat Anda menekan tombol memanggil para driver ojek online ke lokasi Anda.

(tirto/tow)

Loading...